"Aku gak kuat lagi, Dek." tangis Dewi
saat memelukku. Kubiarkan tangisnya tumpah di pundakku dengan deburan ombak
yang sesekali mengaburkan suara isaknya. Saat tangisnya reda, aku tatap
matanya. Kulihat kesedihan mendalam. Entah apa yang membuatnya mendatangiku
dengan air mata.
"Ceritakan ada apa mbak?" Tanyaku
dengan berusaha tenang.
"Ini soal Ayu, temanmu yang waktu itu kau
kenalkan saat kamu ke rumah dulu." Tangisnya kembali pecah, aku berusaha
menenangkannya kembali.
"Ayu?" Dia mengangguk "Kenapa
dengan Ayu?"
"Tadi aku bertengkar dengan mas Adam,
gara-gara Ayu. Sebenarnya aku sudah curiga sejak dulu, sikap mas Adam yang
berubah. Dia jadi makin sering menyendiri dengan ponselnya, biasanya dia tidak
pernah begitu. Saat di rumah, dia biasa menaruh hp nya di sembarang tempat.
Akhir-akhir ini dia sering menyimpannya. Jadi lebih sering di luar dari pada
sekedar menenami Ilham belajar. Ternyata..." dia menghentikan kata-katanya
sembari menghela nafas, dadaku ikut bergemuruh mendengar ceritanya
"kemarin aku baca sms di hp mas Adam. Isinya begini, mas aku ke tempatmu
ya. Kangen banget..." dadaku ikut sesak membayangkannya, pasti Dewi sakit
banget mendapatkan itu semua.
"Nomernya tidak tersimpan, aku hapus sms itu
sebelum mas Adam membacanya. Lalu dengan menggunakan hp tetanggaku aku mencoba
melacak siapa pemilik nomer itu. Ternyata dia Ayu, anak pak lurah itu. Dan saat
tadi aku tanyakan mas Adam, dia mengelak tidak ada hubungan apa-apa, sampai
kami bertengkar dan aku memutuskan menemuimu."
Apa? Ayu? Ayu sahabat baikku? Dewi kembali
memelukku, aku hanya bisa diam terpaku dengan sesekali menyibak jilbab yang
menutup wajahnya saat diterpa angin.
Aku kenal betul siapa mas Adam, selama ini dia
lelaki yang tidak banyak tingkah, boleh dibilang dia tipe suami yang sayang
pada keluarga. Dan Ayu temanku yang sesuai dengan namanya. Parasnya yang ayu
seringkali menjadi rebutan para lelaki. Dia adalah perempuan yang waktu itu
ikut menemaniku saat mengantarkan seragam pesanan teman kantor ke rumah mas
Adam.
Hanya waktu itu saja, bahkan aku tidak tau jika
di antara mereka ada komunikasi sesudahnya. Baik mas Adam atau Ayu tidak pernah
bercerita tentang itu.
Pernah Ayu bertanya, bagaimana jika seandainya
kita mencintai laki-laki yang sudah beristri? Aku jawab dengan acuh, emang
tidak ada laki-laki lain apa? Dia hanya manyun tidak melanjutkan. Aku tidak
menyangka jika pertanyaan itu ada hubungannya dengan isi hatinya. Apa Ayu mencintai
mas Adam, suami Dewi? Bukankah selama ini ada Febri yang selalu setia
menunggunya, ada Hari yang mengejar-ngejarnya bahkan Furqon putra pak Camatpun
jatuh cinta padanya. Kenapa harus mas Adam? Ah, ada kesal yang mulai terasa di
hatiku.
"Mbak Yakin itu Ayu? setahuku mas Adam dan
Ayu tidak pernah saling bertukar nomer. Bukankah mereka hanya bertemu waktu
itu?" Aku masih berusaha menepis kalau itu bukan Ayu.
"Ini lihat." Dewi mengambil hp dalam
sakunya, dia buka galeri foto yang berisi Screenshoot sms itu. "Ini nomer
Ayu kan?"
Kubaca dan kuamati nomernya, ah! Ternyata benar
itu nomer Ayu. Kapan mereka saling tukar nomer ya, padahal saat itu mereka
tidak terlalu saling sapa? Bodohnya aku sampai tidak tau ini semua, selama ini
Ayu temanku yang paling dekat dari yang lain. Kenapa aku bisa tidak tau hal
besar ini?
"Benar kan, ini nomer Ayu?" Tanya Dewi
yang mengangetkan lamunanku. Aku mengangguk ragu. Aku bingung harus berkata
apa, mereka semua temanku. Satu sisi aku ikut merasa sakit saat di posisi Dewi,
sisi yang lain Ayu adalah sahabat baikku yang selalu ada untukku. Aku
harus bagaimana?
"Mas Adam gak mungkin menghianati
mbak," kataku berusaha dengan tegas, walau mungkin kedengarannya aku
mengatakannya dengan kurang yakin. "Dia sangat menyayangi mbak, setiap
kali dia bicara yang dia ceritakan mesti mbak dan anak-anak." Kugenggam
tangannya erat.
"Tapi kenyataannya..."
"Semua yang mbak lihat belum membuktikan
apa-apa, itu hanya sms yang mungkin benar memang dari Ayu. Tapi percaya deh
mbak, mas Adam hanya mencintai mbak. Dia tidak akan berpaling dan meninggalkan
mbak dengan anak-anak." sekuat tenaga aku meyakinkan Dewi. Aku tidak mau
sesuatu yang buruk menimpa rumah tangganya. Aku juga ikut bertanggung jawab
atas semua ini.
"Lalu bagaimana dengan Ayu? apa aku datangi
ke rumahnya dan meminta untuk tidak lagi berhubungan dengan mas Adam?"
Aduh, tiba-tiba saja kepalaku pusing mendengarnya, bisa dibayangkan jika sampai
Dewi benar-benar melabrak Ayu. Tidak Tidak! Ini tidak boleh terjadi.
"Soal Ayu, biar aku yang ngurus. Mbak
tenang aja, semua akan baik-baik saja. Tapi kumohon jangan sampai mbak kesana
karena pasti rame." aku mulai panik walau berusaha setenang mungkin.
"Terserah, aku dah pasrah. Biar rame sekalian,"
jawabnya masih dengan kemarahan. Aku bisa melihat itu di matanya.
"Mbak percaya sama aku kan? Aku pasti akan
bicara baik-baik dengan Ayu."
"Bener?" Aku mengangguk.
"Terimakasih ya,, aku mohon banget. Maaf
selalu merepotkanmu dengan curhatku."
"Tidak apa-apa, saya senang jika bisa
membantumu. Saya ikut bahagia jika mbak dan mas Adam bahagia..." suaraku
bergetar, mungkin aku ikut terbawa perasaan sehingga jadi sedikit emosional.
Dewi kembali memelukku, ada harapan yang dia
titipkan di pundakku. Aku tidak boleh mengecewakannya, aku tidak mau mereka
berdua tidak bahagia.
"Mbak pulanglah, mungkin mas Adam bingung
mencari. Sepertinya dari tadi hp mbak bergetar."
Sepulang Dewi, berjuta perasaan berkecamuk dalam
hatiku. Aku kesal dengan sahabatku yang selama ini begitu dekat denganku,
kenapa dia sampai merasahasiakan ini dariku. Mas Adam juga keterlaluan, masak
dia jadi sering ada di luar rumah meninggalkan istri dan anak-anaknya? Ini
tidak bisa dibiarkan.
Aku hubungi Ayu untuk datang ke rumahku. Seperti
biasa, dia akan datang saat ini juga saat aku panggil. Itu yang tidak bisa aku
lupa dari sahabatku, ah rasanya tak tega jika harus kusampaikan berita ini.
Tapi bagaimanapun ini demi kebaikan bersama. Jika tidak, bisa jadi Dewi
benar-benar akan mendatanginya. Dan itu buruk sekali.
"Maafkan aku..aku tidak bisa melawan
perasaanku." Kali ini Ayu yang terisak di pelukanku. Dia bercerita semua,
semuanya dari awal dia berhubungan dengan mas Adam sampai akhirnya dia jatuh
cinta. Ah, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Siapa yang bisa mencegah
saat cinta menyapa kita. Siapa yang mampu mengelak saat hati kita terpaut pada
seseorang, yang walau kenyataannya seseorang itu telah menjadi milik orang
lain? Jangankan seorang tentara, polisi atau presiden yang melarang, kita
sendiripun tidak mampu menolak saat perasaan itu datang.
"Ayu...aku mengerti perasaanmu." aku
ikut terisak bersamanya, bagaimanapun juga Ayu sudah terlanjur
suka.
Hpku bergetar, sebuah pesan WhatsApp masuk,
ku buka saat Ayu masih dalam pelukanku, pesan dari mas Adam.
"Terimakasih ya, telah menyelamatkan
rumah tanggaku. Aku tidak tau lagi menjelaskan pada Dewi, bagaimana pula
menghadapi Ayu. Sekarang aku bisa lebih tenang dengan keluargaku..."
Kuketik jawaban untuknya,
"Berbahagialah!" hanya kalimat itu yang mampu kubalaskan.
Beberapa saat kemudian, kembali dia jawab
"Tentu, aku pasti bahagia tanpa harus menghapus rasa sayangku padamu."
Ah, mas Adam. kalimat terakhirmu membuatku
melambung. Kamu selalu membuat aku tidak bisa berpaling darimu, bahkan walau
sudah ada Rony dalam hidupku. Aku tak pernah bisa menghapusnya dari hatiku.
Rasa ini memang salah, tapi benar adanya. Aku juga menyayangimu, Mas. Masih dan
akan selalu menyayangimu sebagai apapun. Batinku seraya mempererat pelukan Ayu.
Maafkan aku Dewi, Ayu, maafkan aku mas Rony.